BAGIAN 1 BAHAN KULIAH BAB 1 – 3
SURVEI DAN PEMETAAN TANAH/LAHAN
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Definisi dan
Pengertian
Definisi Lahan
Suatu “tract” atau
“bentang” lahan dapat didefinisikan sebagai geografis suatu area (wilayah)
permukaan planet bumi yang spesifik: karakterisasinya menyangkut penggunaannya
yang mantap dan terperkirakan secara lestari, atributnya meliputi biosfer di
atas dan di bawah lahan suatu areal, yaitu yang meliputi system dari atmosfer,
tanah dan bentukan geologis, hidrologi, populasi tanaman dan hewan, dan
hasil-hasil aktivitas manusia masa lampau dan masa kini yang nyata-nyata
memberikan atribut besar (dampak) terhadap kondisi sekarang dan masa depan
penggunaan lahan oleh manusia (Brinkman dan Smyth, 1973).
Lahan tidak sama
dengan tanah.
Tanah sifat-sifatnya
meliputi fisik, kimia, dan biologis, apabila terdiri dari gabungan banyak
jengkal tanah dalam suatu areal dan ada system biosfer itulah lahan yang
mempunyai nilai alami dan nilai guna suatu lahan.
Suatu nilai alami dan
nilai guna dimiliki oleh suatu lahan dengan batas-batas area, kualitas tanah, bentuk
dan lokasi spesifik. Kualitas tanah suatu lahan pertanian (tanah edafologi)
==> cenderung mengalami perubahan terus menerus yang bisa positif
(diferensiasi horison dan atribut sifat) dan bisa negatif (degradasi) untuk
produksi biomassa.
Peta diperlukan untuk
mengadakan kegiatan survey lahan (di dalamnya ada survey tanah) yang
selanjutnya data dan peta spesifik yang dihasilkan diperlukan untuk melakukan
evaluasi lahan.
Survei tanah/lahan
bertujuan untuk: (i) mempelajari sifat-sifat tanah dan kondisi suatu lahan yang
selanjutnya memberikan sumbangan pada, (ii) klasifikasi tanah didasarkan pada
sifat-sifat tanah dan genesis tanah, kemudian menghasilkan penggolongan
kualitas tanah/lahan, dan selanjutnya bermanfaat (iii) untuk memprediksikan dan
menentukan penggunaannya secara lestari dan berkesinambungan.
Karena kita
berkecimpung dalam ilmu dan kegiatan pembangunan pertanian, maka penggunaan
lahan yang lestari dan kerkesinambungan (berkelanjutan) adalah untuk
penyelenggaraan system pertanian yang berkelanjutan.
Disinilah kemudian
akan berlaku curahan dan persaingan suatu motivasi politik, social, ekonomi,
dan kepentingan strategi nasional/daerah.
1.2. Manfaat
Mempelajari dan Keilmuan
Manfaat:
1. Mengetahui dan
menguasai teknik survei (dan evaluasi) tanah/lahan.
2. Perencanaan
pembangunan daerah, regional, nasional.
3. Profesi dan pelayanan
kebutuhan bidang lain.
4. Pelayanan kebutuhan
masa depan kelestarian SDA dan planet bumi.
5. Menghasilkan IPTEK
baru untuk kebutuhan masa depan pelayanan evaluasi lahan (pelestarian dan rehabilitasi-konservasi
sumberdaya lahan).
Bagaimana cara
aplikasinya?
1.3. Ilmu yang
Berkaitan
1. Ilmu Tanah/Lahan
2. Ilmu Klasifikasi Tanah
3. Ilmu Geografi dan
Geodesi
4. Ilmu Geologi dan
Mineralogi
5. Ilmu Kartografi (peta)
dan Pemetaan
6. Ilmu Agronomi
(budidaya) tanaman, ternak darat, dan perikanan
7. Ilmu Lingkungan Hidup
8. Ilmu Pertanahan dan
Tataguna Tanah/Lahan
9. Ilmu Manajamen dan
Ekonomi
10. Ilmu Sosial, Budaya,
dan Politik.
11. Ilmu-Ilmu lainnya ???
1.4. Futurologi
a. Kerusakan
tanah, lahan, air, atmosfer, keragaman hayati.
b. Perubahan iklim
global dan dampaknya.
c. Perubahan tata guna
tanah/lahan.
d. Perubahan
kemasyarakatan dan pemerintahan.
e. Perubahan IPTEKS.
f. Kemiskinan, rawan
pangan.
TUGAS:
a. Cari nilai
penting kemanfaatan Survei dan Evaluasi lahan untuk masa depan bangsa
Indonesia?
b. Teknologi apa yang
akan diperlukan untuk kegiatan profesionalisme Survei dan Evaluasi lahan?
c. Apa pendapat
internasional tentang perubahan lahan ?
BAB II. PETA TANAH DAN PERSIAPAN SURVEI TANAH
Survei tanah adalah
usaha mempelajari tanah dalam lingkungannya yang langsung diselenggarakan di
lapangan (on the track of earth field land area).
Suatu kegiatan survey
tanah menghasilkan rangkaian data dan peta tanah menyangkut peta tanah pada
lahan-lahan yang dipetakan pada suatu areal tertentu di suatu wilayah yang bisa
berskala persil, bukit, lembah, dataran sempit, dataran luas, desa, kecamatan,
kabupaten, di suatu provinsi suatu Negara.
Peta tanah/lahan akan
menunjukkan suatu penyebaran satuan-satuan tanah/lahan.
Melalui survey tanah
diperoleh pengetahuan berdasarkan data-data yang diperoleh mengenai sifat-sifat
tanah, dan atas dasar itu tersedia landasan bagi penerapan data dan informasi
atas tanah dan lahan bagi manfaat penggunaannya.
Data, informasi dan
pengalaman dalam survey tanah sangat-sangatlah bermanfaat menajdi dasar
membangun daerah/Negara. Peta, data, informasi atas tanah berpotensi untuk
berperanan menjadi jembatan untuk menerapkan pengetahuan yang diperoleh dari
pengalaman pada tanah yang sama.
Oleh karena itu batas-batas
tanah dengan sifat yang sama bisa disebut sebagai satuan tanah yang kemudian
menjadi batas-batas atas lahan yang mempunyai sifat tanah yang sama.
2.1. Peta Tanah
Peta tanah adalah
suatu peta yang sengaja dibuat untuk menunjukkan penyebaran tipe-tipe
tanah atau satuan-satuan peta tanah sehingga akan menggambarkan dengan jelas
dalam hubungannya dengan sifat-sifat fisik tanah/lahan dengan social cultural
(bisa juga ekonomi) pada suatu permukaan bumi.
Hal tersebut hanya
berlaku untuk lahan tipe penggunaan suatu sector. Apabila penggunaannya ke arah
konservasi (reklamasi, rehabilitasi, restorasi), maka sifat fisik tanah/lahan
akan dihubungkan dengan fungsi garansi lahan dan ekosistem terhadap kehidupan
semua mahkluk yang memerlukannya (manusia, hewan, tumbuhan, mikroba).
Satuan-satuan
tanah/lahan
Dapat ditunjukkan
secara tersendiri atau asosiasi tanah, namun kecenderungan sekarang bersifat
individu tanah jadi tidak berasosiasi (USDA: soil taxonomy).
Satuan-satuan
taksonomik menjadi sangat penting karena apabila kita menamakan tanah atas
dasar suatu system penamaan tertentu (taksonomi/taxonomy) maka tiap tingkat
penamaan menunjukkan cirri-ciri utama dan khusus tanah yang bersangkutan.
Sistem taksonomi yang
berkembang di Indonesia saat ini sistem Puslitannak Bogor, FAO, dan USDA
(United State Department of Agriculture).
Dikenal dua tipe utama
peta tanah yaitu:
(i)
Peta tanah detail
(ii)
Peta tanah tinjau dan eksplorasi.
Perbedaannya terletak
pada intensitas pekerjaannya, sehingga secara teknis yang berbeda adalah
ketelitian dan tingkat generalisasinya.
Ketelitian adalah
banyaknya unit/satuan tanah dari wilayah yang dilakukan survey dengan unit-unit
area jumlah titik pengambilan pengamatan dan sampel.
Generalisasi adalah
menarik kesimpulan menjadi umum dari beberapa atau banyaknya satuan tanah/unit
tanah yang diperoleh dari survey tanah/lahan.
Tabel 1. Beda dan
karakteristik peta detil dan tinjau/eksplorasi
Item
Karakter
|
Peta
Detil
|
Peta
Tinjau dan Eksplorasi
|
Kehomogenan
|
Homogen
– sangat homogen
|
Tidak
homogeny
|
Satuan
tanah
|
Seri
tanah atau tipe tanah
|
Order/ordo
– great group/jenis
|
Cara
penentuan batas-batas satuan tanah
|
Pengamatan
langsung detil di lapangan untuk penentuan batas
|
Hanya
pengamatan berselang, jadi batas ditentukan di atas meja (tidak dengan
menelusur di lapangan)
|
Tingkat
ketelitian
|
Sangat
teliti – teliti; kategori rendah
|
Tidak
teliti; kategori tinggi
|
Intensitas
pengamatan/pekerjaan
|
Sangat
tinggi – tinggi
|
Rendah
|
Jenis-jenis Peta Tanah:
Dikenal beberapa jenis
peta tanah yang berkaitan dengan tingkat survey tanah. Peta-peta itu ialah:
Peta tanah detil
(detailed soil map)
Peta ini berskala 1 :
1.000 sampai 3 : 25.000. dihasilkan dari satu sampai dua pengamatan tiap
hektar, dengan seri tanah, asosiasi tanah, atau tipe tanah sebagai satuan peta.
Peta ini digunakan untuk perencanaan irigasi dan perencanaan usahatani
intensif.
Peta tanah semi detil
(semi-detailed soil map)
Peta ini berskala 1 :
50.000 sampai 1 : 200.000, dihasilkan dari satu sampai lima pengamatan tiap 100
ha lahan, dengan asosiasi seri atau keluarga tanah sebagai satuan peta. Peta
ini digunakan untuk perencanaan irigasi dan usahatani pada tingkat yang lebih
kasar. Peta ini juga dipergunakan untuk keperluan konservasi sumberdaya lahan,
perencanaan kota, dan pengembangan regional.
Peta tanah tinjau
(reconnaissance soil map)
Peta ini berskala 1 :
200.000 sampai 1 : 500.000, dihasilkan dari satu sampai sepuluh pengamatan tiap
10.000 ha lahan, dengan asosiasi atau kompleks kelompok atau marga tanah
sebagai satuan peta. Peta ini digunakan untuk penilaian sumberdaya
tanah dan perencanaan tataguna tanah pada tingkat regional atau propinsi.
Peta ini juga digunakan untuk pendekatan pertama pada orientasi dan
aplikasi penelitian pertanian.
Peta tanah eksplorasi
(exploratory soil map)
Peta ini berskala 1 :
500.000 sampai 1 : 2.500.000, dihasilkan dari dua sampai lima pengamatan tiap
100.000 ha lahan, dengan asosiasi atau kompleks marga atau rumpun tanah sebagai
satuan peta tanah. Batas-batas satuan peta tanah didasarkan pada
interpretasi hubungan penyebaran tanah dengan factor-faktor lingkungan. Peta
ini digunakan untuk menunjukkan penyebaran sumberdaya tanah pada tingkat
Negara, yaitu dalam perencanaan yang bersifat umum tataguna tanah pada tingkat
Negara. Peta ini juga digunakan untuk tujuan pendidikan dan studi geografi.
Peta tanah bagan
(schematic soil map)
Peta ini berskala 1 :
500.000 atau lebih kecil. Peta ini tidak dibuat berdasarkan pengamatan langsung
di lapangan, tetapi merupakan hasil kompilasi literature dan pengetahuan
mengenai hubungan penyebaran tanah dengan factor-faktor pembentuk tanah.
Peta ini digunakan untuk menunjukkan penyebaran tanah pada skala dunia,
digunakan terutama untuk pendidikan dan studi geografi.
Satuan peta tanah
Digunakan untuk
memberikan rambu ketelitian yang harus dipenuhi oleh surveyor dan pembuat peta
tanah.
USDA
(system
taksonomi)
|
FAO-UNESCO
|
IPB
|
PUSLITANNAK
(nama
lama LPT)
|
Order
|
–
|
Ordo
|
Golongan
|
Sub
order
|
–
|
Rumpun
|
Kumpulan
|
Great
group
|
Great
group (marga)
|
Marga
|
Jenis
|
Sub
group
|
Sub
group (kelompok)
|
Kelompok
|
Macam
|
Family
|
–
|
Keluarga
|
Rupa
|
Series
|
–
|
Seri
|
Seri
|
2.2. Peralatan survei
dan surveyor
a. Peta
b. GPS
c. Bor Tanah
d. Peralatan
pengamatan dan pengukuran (perubahan )
sifat kimia dan fisika
tanah; termasuk bahan kimia
e. Alat sampling dan
sampel tanah dan jaringan tanaman
(cangkul, linggis,
plastik, karung, kontainer, dll.)
1. Alat rintisan lahan
(sabit, golok, gergaji)
2. Buku dan form isian
data
3. Komputer, software,
dan internet
4. Perangkat kelistrikan
5. Mobil dan motor;
termasuk gerobak, perahu, kapal
6. Dana, ijin, SDM
terlatih.
2.3. Persiapan survei
2.3.1. Peta dasar
2.3.2. Informasi iklim
2.3.3. Penguasaan alat dan infomasi lainnya.
2.3.1. Peta dasar
2.3.2. Informasi iklim
2.3.3. Penguasaan alat dan infomasi lainnya.
BAB III. PELAKSANAAN SURVEI TANAH/LAHAN
3.1. Tujuan Survei
a. Diperoleh
pengetahuan berdasarkan data-data yang diperoleh mengenai sifat-sifat tanah.
b.
Tersedianya landasan bagi penerapan data dan informasi atas tanah dan lahan
bagi manfaat penggunaannya.
Data, informasi dan
pengalaman dalam survey tanah bermanfaat menjadi dasar membangun daerah/Negara.Peta,
data, informasi atas tanah berpotensi untuk berperanan menjadi jembatan untuk
menerapkan pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman pada tanah yang sama
(membuat satuan tanah homogen dan tataguna tanah/lahan yang berasaskan
kelestarian).Ada data keragaman hayati dan kekayaan sumberdaya alam.
3.2. Tingkatan Survei:
detil, semi detil, tinjau, eksplorasi
3.2.1. Survei detil
1. Satuan peta tanah yang
diinginkan homogen (seri, asosiasi seri, atau tipe tanah).
2. Satuan-satuan
peta tanah ditetapkan berdasarkan pengamatan langsung dilapangan.
Keinginan tersebut
dicapai dengan 1-2 pengamatan tiap hektar tanah/lahan. Melakukan survei sistem
titik potong dengan pengamatan setiap 100 m padajalur-jalur berjarak 100 m.
Perubahan ketelitian titik potong harus < 100 m agar lebih detil. Dilakukan
sendiri oleh surveyor atas dasar perubahan keadaan setempat (perubahan sifat
faktor pembentukan tanah).
Survei detil
memungkinkan pengamatan dengan mengikuti tiap perkembangan perubahan
sifat-sifat tanah, kemudian dalam jarak gabungan potongan yang lebih luas dapat
ditentukan batas-batas sama proses pembentukan tanah
Kita mengikuti teori
pembentukan tanah (Jenny), yaitu:
T = f (bahan induk,
organisme, relief/topografi, iklim, dan rentang waktu).
Kalau kita survei
detil atau bahkan sangat detil maka f(bi, o, r/t), akan bisa mengalami
perubahan terutama faktor organisme dan relief (morfologi) karena kerusakan
tanah. Kerusakan tanah sifatnya bisa dinamis.
Contoh membuat grid
titik potong/pengamatan tanah:
700
|
||||
600
|
||||
500
|
||||
400
|
||||
300
|
||||
200
|
||||
100
|
||||
0
|
100
|
200
|
300
|
400
|
3.2.2. Survei semi
detil:
Merupakan bentuk
antara di antara survei detil dan survei tinjau. Alasan: survei detil
mahal, lama, makan banyak tenaga dan dana. Oleh karena itu diperlukan survei
yang sedikit lebih kasar (kurang detil) namun batas-batas homogen tanah masih
dapat dipertanggung-jawabkan untuk penggunaan lebih luas wilayahnya dengan
biaya survei yang tidak terlalu besar. ==> Tetap menghasilkan data seri
perubahan sifat-sifat tanah dan pembentukan tanah. 1-2 pengamatan tiap 100 ha
tanah/lahan. Pengamatan sistem titik potongan (grid) satu pengamatan tiap jarak
500 m pada jalur-jalur berjarak 1-2 km. Satuan peta tanah asosiasi seri
atau keluarga tanah (famili).
3.2.3. Survei tinjau:
Tujuan mendapatkan
penilaian mengenai sumberdaya tanah di suatu daerah yang
selanjutnya digunakan
sebagai dasar perencanaan tataguna tanah daerah tersebut.
Jadi skalanya sudah
daerah/wilayah misalnya dalam satu kabupaten atau
beberapa kecamatan.
Satuan peta tanah asosiasi atau kompleks kelompok tanah atau marga tanah.
Dilakukan 1-10 pengamatan tiap 10.000 ha (2-3 kecamatan di Jawa).
Pengamatan tiap 500 m pada jalur-jalur berjarak 20 – 200 km. Pemetaan dilakukan
dengan mengandalkan pengetahuan mengenai hubungan perubahan sifat faktor-faktor
pembentuk tanah dengan perubahan sifat tanah. Pengamatan tetap sistem titik
potong luas, atau dipencar dalam wilayah grid. Agar tidak terlalu kasar, maka
survei tinjau di dalamnya dapat dilakukan survei detil atau semi detil pada
tempay-tempat yang dipandang mewakili variasi di suatu wilayah survei. Hal itu
disebut survei tanah tinjau mendalam (detailed reconnaissance). 1-3
pengamatan tiap 1000 ha.
3.2.4. Survei eksplorasi:
Dasarnya adalah
interpretasi mengenai hubungan perubahan sifat faktor-faktor pembentuk tanah
dengan perubahan sifat tanah. Dilakukan dengan 2 – 5 pengamatan tiap 100.000 ha
(satu kabupaten). Satuan tanah yang diperoleh sangat kasar yaitu asosiaso atau
kompleks marga tanah atau rumpun tanah. Penggunaan survei untuk
mempersiapkan perencanaan pembangunan wilayah setingkat kabupaten di luar jawa
atau perkebunan sangat besar.
3.3. Pengamatan lapang
3.3.1. Keadaan tanah
dan lahan
Jenis dan sebaran
tanah yang dijumpai di daerah survei dapat dipelajari dari berbagai jenis peta
tanah yang sudah ada. Informasi ini hanya sebagai pembanding yang kasar, karena
peta yang ada hanya bisa bersumber dari berbagai peta tanah yang skalanya kecil
(peta skala bagan, eksplorasi, tinjau). Keadaan tanah yang perlu diketahui
yaitu faktor pembentuk tanah, genesa tanah (pembentukan tanah), luas dan
sebaran jenis tanah, dengan semuanya lengkap informasi sifat fisika, kimia,
biologis, ditunjang dengan informasi keadaan lahannya.
Pembelajaran melalui
peta tanah dan lahan, dan data-data sifat tanah dan kondisi lahan wilayah
survei dapat dilakukan langsung baik di lahan maupun di laboratrorium. Sifat
dan ciri tanah di lapangan dapat diperoleh secara morfologik pada titik
pemboran dan profil tanah. Di laboratorium tanah dapat diketahui sifat dan ciri
kimia, fisik, dan biologis. Data mineralogi tanah mendapatkan perhatian khusus
dalam survei tanah untuk evaluasinya “on-the desk, atau kalau sekarang bisa
dilakukan evaluasi on the on-line screen (internet) yang dapat
dilakukan bahkan pada tingkat atau antar profesional dunia. Informasi tentang
tanah kenudian dapat digunakan untuk studi penentuan kelas-kelas taksonomik
tanah (ordo, rumpun, marga, kelompok, keluargam seri tanah). Guna penamaan
tanah maka taksonominya dapat dilakukan dengan mengacu pada buku standar
(manual/laboratory tools) atau buku taksonomi tanah USDA (United State
Department of Agriculture).
Data dan informasi
tanah yang penting untuk diperoleh yaitu: kesuburan tanah (minipit dan profil),
tekstural, struktural, nitrogen dan bahan organik, sifat fisik tanah (BJP,
BJI), sifat biologis tanah (biota tanah dan keenergian tanah). Data kesuburan
tanah yang perlu diadakan: pH, KB, KTK, redoks, kandungan dan ketersediaan N,
P, K, S, Ca, Mg, dan unsur-unsur mikro.
3.3.2. Geomorfologi
dan fisiografi
Geomorfologi
mempelajari tentang bentuk permukaan bumi (lahan) yang disebabkan karena adanya
pengaruh tenaga dari luar. Geomorfologi lahan, secara lebih khusus mempelajari
tentang evolusi bentuk-bentuk lahan dan bentang jalan (lansekap/landscape)
terutama yang berhubungan dengan proses-proses erosi. Satuan-satuan
geomorfologi antara lain: dataran banjir, dataram pelembahan, daerah cekungan,
dataran aluvial, teras sungai, teras marin, kaki bukit, dsb.
Fisiografi mempelajari
tentang pembentukan dan evolusi dari bentuk-bentuk lahan. Pengertiannya
meliputi: bentuk permukaan lahan dan kondisi geologisnya termasuk kondisi
klimaologin, meteorologi, oceanografi, dan fenomena-fenomena alami secara umum.
Satuan-satuan fisiografi antara lain: bukit lipatan, dataran jalur
aliran, wilayah pegunungan vulkan, dsb.
Bentuk lahan juga
perlu diidentifikasi, karena bentuk lahan adalah hasil dari proses-proses
geomorfologi yang bekerja terhadap batuan dan bahan induk yang dipenagruhi
iklim selama waktu tertentu. Bentuk lahan merupakan bagian penting dari profil
tanah. Alasannya adalah, bentuk lahan dicirikan oleh adanya asosiasi
profil-profil tanah pada bentuk-bentuk lahan tertentu. Profil tanah dipengaruhi
oleh bahan induk dan menyebabkan perbedaan-perbedaan bentuk lahan. Satuan
bentuk lahan merupakan diferensiasi dari pada satuan-satuan fisiografi. Dari
satuan dataran jalur aliran dapat dibedakan ke dalam tanggul sungai, rawa di
belakang tanggul, rawa, dan teras sungai.
Relief adalah beda
ketinggianantara titik tinggi dan titik rendah pada suatu permukaan lahan.
Relief bisa dipergunakan untuk membedakan atau menentukan titik tertinggi dan
terendah suatu wilayah. Relief juga sering difahani sebagai sifat bentuk lahan
suatu wilayah. Perbedaan-nya adalah bentuk lahan lahan adalah kualitatif,
sedangkan relief bersifat kuantitatif. Karakter dari bentuk lahan dan relief
ditentukan oleh persen lereng dan perbedaan ketinggian. Ada hubungan relatif
antara relief, persen lereng, dan perbedaan ketinggian (lihat Bahan Praktikum
Pendidikan dan Latihan Tata Guna Tanah, IPB, 1982).
3.3.3. Geologi dan
bahan induk
Berdasarkan studi
pustaka, pengamatan lapang, dan analisis laboratorium maka dapat ditentukan
kondisi geologis dan batuan induk suatu lahan wilayah yang sedang kita amati
atau deskripsikan. Data-data geologis dan batuan induk dapat digunakan untuk
pembuatan peta geologi dan bahan induk yang akhirnya sangat bermanfaat untuk
penentuan pewilayahan jenis tanah (peta jenis tanah) suatu wilayah yang kita
survei. Mineral dan batuan dapat diidentifikasi di lapangan berdasarkan
sifat-sifat fisiknya (warna, kilap, streak, bentuk, belahan, pecahan, dsb).
Sedangkan hasil analisis laboratorium diperoleh data susunan mineral primer
(fraksi pasir) dan mineral sekunder (fraksi liat) berdasarkan sifat-sifat
optiknya serta frekwensinya terhadap sinar X.
3.3.4. Iklim
Data iklim dikumpulkan
dari stasiun-stasiun di wilayah survei dan sekitarnya, prinsipnya stasiun iklim
terdekat. Data yang perlu dikumpulkan meliputi: curah hujan, jumlah hari hujan,
kelembaban udara, kelembaban nisbi udara, intensitas penyunaran, kecepatan dan
arah angin, dll. Data iklim dikumpulkan minimal dari 10 tahun pengukuran
terbaru. Data-data tersebut akan berguna untuk mengetahui besarnya curah hujan
bulanan, satu musim, tahunan, mengetahui penyimpangan unsur-unsir iklim,.
Disamping itu dapat diketahui pula tipe hujan, tipe iklim, pendungaan besarnya
evapotranspirasi, neraca air, kebutuhan air irigasi, dsb.
Peta iklim yang ada
diperlukan atau perlu dibuat guna penentuan zonasi atau pewilayahan daerah
iklim sesuai komoditas (adaptasi) atau pelaksanaan budidaya menurut musim bulan
rata-rata curah hujan, sehingga dapat dilaksanakannya suatu kebijakan
modifikasi atau substitusi melalui teknologi. Contohnya adalah peta iklim
pertanian yang dibuat oleh Oldeman et al. (1979), sangat
menunjang bagi perencanan dan pengembangan usaha pertanian di suatu wilayah.
Peta ini dibuat berdasarkan atas curah hujan rata-rata bulanan dan lamanya
musim hujan berturut-turut dihubungkan dengan kebutuhan air bagi tanaman
tertentu misalnya pola budidaya tanaman. Misalnya saja tanaman padi sawah
memerlukan curah hujan 150 – 200 mm/bulan selama 3-4 bulan berturut-turut.
Apabila didapati suatu wilayah pada interval bulan juli-agustus curah hujannya
rata-rata hanya antara 105 – 135 mm/bulan, maka pada wilayah tersebut pada
bulan-bulan tersebut tidak sesuai untuk budidaya padi sawah karena tanaman akan
kekurangan air. Untuk tanaman lahan kering diberikan batasan tanaman memerlukan
curah hujan bulanan sekitar 50 – 75 mm/bulan. Penentuan kategori bulan hujan,
lembab, dan kering (golongan iklim Oldeman et al.) atas dasar curah
hujan adalah apabila berturut-turut bulan hujan > 200 mm/ bulan, bulan
lembab 100 – 200 mm/bulan, dan bulan kering < 100 mm/bulan. Untuk tanaman tahunan
(tanaman hutan dan perkebunan) maka dapat dibuat peta agroklimat tanaman atas
dasar penggolongan iklim menurut Schmidth-Fergusson. Pelajari semuanya pada
literatur agroklimat (Chambers, R.E. 1978, Koesmaryono, et al.,
1999; Oldeman and Frere, 1982; Wisnubroto, 1999). Menurut Schmidth-Fergusson
bulan basah, lembab, dan kering apabila suatu bulan dalam rentang waktu minimal
10 tahun mempunyai curah hujan bulan basah > 100 mm/bulan, bulan lembab 50 –
100 mm/bulan, dan bulan kering < 50 mm/bulan.
3.3.5. Air
Perlu diketahui data
dan gambaran hidrologi (tata air) dari berbagai sumber air yang terdapat di
wilayah survei (sungai, danau, rawa, dan air tanah). Potensi tersebut penting
bagi kebutuhan sehari-hari manusia, hewan ternak, tanaman; disamping untuk sarana
transportasi air, rekreasi, dan sumber energi (hydro-electric power).
Perlu dilaksanakan: (i) inventarisasi jumlah dan sebaran sumber-sumber
air, (ii) pengukuran profil (lebar dan kedalaman) sungai pada tempat tertentu
yang dianggap sangat perlu, (iii) pengukuran kecepatan aliran sungai, (iv)
untuk wilayah pasang surut perlu pengamatan gerakan pasang surut sungai pada
tesmpat tertentu (muara, tengah, hulu sungai), (v) pengukuran kualitas air
untuk manusia, ternak, tanaman (pH, salinitas, BOD, TDS, kandungan sulfat,
klor, logam berat, senyawa organik pencemaar, dsb), (vi) penentuan jarak masuk
intrusi air laut di daratan, dan (vii) mengambil sampel air guna pengamatan dan
pengukuran di laboratorium. Standart mutu air dapat digolongkan untuk keperluan
irigasi tanaman, kebutuhan air manusia, kebutuhan air ternak. Guna penentuan
pewilayahan (tata guna lahan ) juga diperlukan pertimbangan tentang kebutuhan
baku mutu air.
3.3.6. Vegetasi
Kondisi vegetasi dan
tanaman (crop) suatu wilayah survei dapat ditemukan/didapatkan melalui buku
laporan kepertanian, perkebunan, kehutanan dari kedinasan/kelembagaan lokal
atau perpustakaan atau kelembagaan tingkat nasional. Namun demikian,
keterangan tentang vegetasi/ tanaman dapat diperoleh melalui peta tata guna lahan,
peta tutupan lahan, peta kehutanan dan perkebunan, peta rupa bumi, peta
landsat, peta foto udara, dsb. Pada kondisi perubahan iklim global seperti
sekarang ini, maka peta tutupan lahan sangat penting, demikian pula peta tata
guna lahan, Peta dan informasinya bisa digunakan sebagai bahan pertimbangan
dilakukannya restruk-turisasi lahan dan pola budidaya (farming) dalam rangka
adaptasi dan bagian dari pengendalian PIG.
3.3.7. Satwa dan
ternak
Evaluasi lahan juga
sangat bermanfaat untuk pengembangan pewilayahan konservasi satwa liar dan
pengembangan ternak baik tingkat lokal maupun tingkat nasional bahkan tingkat
dunia. Rencana kegunaan akhir dari evaluasi lahan, contohnya agro-wisata
(agro-turisme) atau wild-life tourism memerlukan data SDA
hutan, mangrove, wilayah pegunungan, danau, dataran padang rumput, dsb.
Termasuk di dalamnya diperlukan data kekayaan keragaman satwa dan ternak guna
penyusunan RTRW (Rencana Tata Ruang dan Wilayah), peta perburuan, peta turisme,
dan peta sentra peternakan. Pada kondisi perubahan iklim ini antara lain
diperlukan penyusunan pengembangan wilayah pertanian (adaptasi, pengendalian)\;
secara ekonomi perlu dibentuk wilayah agropolitan, minapolitan, sentra
pertanian organik, dsb. Data keanekaragaman hayati satwa, ternak, perikanan,
dan dipadu dengan tanaman/vegetasi sangat menunjang pengembangan wilayah
pertanian.
3.3.8. Penggunaan
lahan
Mengacu kepada
pentingnya restrukturisasi lahan untuk berbagai tujuan penggunaan akhir atau
rencana pengembangan masa depan baik jangka pendek, jangka menengah, maupun
jangka panjang, maka diperlukan penataan lahan kembali (land re-arrangement).
Berkaitan dengan perkembangan penduduk dunia yang sangat dahsyat seperti saat
ini, maka diperlukan pertimbangan kebijakan pengembangan pemanfaat lahan yaitu
“tata guna lahan masa depan”. Negara kita terdiri dari kepulauan yang
sangat banyak baik 5 pulau besar, ratusan pulau menengah, dan ribuan pulau
kecil, yang terbentang di antara 2 benua dan 2 samudera. Kondisi ini membawa
dampak perubahan besar dengan adanya PIG è pemanasan global dan dibarengi
dengan tumbuh-kembangnya penduduk tingkat nasional dan dunia; maka diperlukan
berbagai kebijakan penataan kependudukan, kepertanian, tata guna lahan, dan
lainnya yang terkait.
Data penggunaan lahan
tingkat lokal dan nasional diperlukan untuk penataan lahan. Data dan peta dapat
diperoleh di tingkat lokal (kabupaten dan propinsi) maupun tingkat nasional
(kementerian dan kelambagaan nasional terkait). Data dan peta tata guna lahan dapat
diperoleh di kantor BPN (Badan Pertanahan Nasional), Bappeda (Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah), Badan Statistik, Dinas-dinas terkait, semuanya baik
tingkat kabupaten, propinsi, dan pusat. Saat ini web tingkat kabupaten,
propinsi, dan nasional, bahkan internasional dituntut penyediaan peta dan data
tata guna lahan.
3.3.9. Kerusakan tanah
dan lahan
Kerusakan tanah dan
lahan terutama yang berpotensi sebagai lahan pertanian atau lahan
lain strategis sedang terjadi tiap tahunnya tanpa pengendalian yang signifikan
oleh Pemerintah. Kerusakan tanah dan lahan dampaknya sangat kritikal untuk masa
depan penyediaan pangan dan energi, masa depan ketersediaan air bersih maupun
irigasi kepertanian (siklus hidrologis), dan keterjaminan keragaman hayati
planet bumi. Dengan demikian kerusakan tanah/lahan baik skala lokal, DAS sampai
dengan Sub-sub DAS sangatlah strategis untuk dikendalikan. Sejak
diber-lakukannya U.U. Republik Indonesia No. 150 tentang Pengendalian Kerusakan
Tanah/ Lahan, maka telah ada dipetakannya sebaran kerusakan termasuk
intensitasnya di seluruh propinsi di NKRI ini. Stake-holder baik Kementerian,
Litbang Nasional, Pemprov dan Pemkab dengan Dinas-dinas terkaitnya telah banyak
menghasilkan peta dan data kerusakan tanah, lahan, dan hidrologi (DAS dan Sub
DAS). Ke masa depan data informasi dan peta tersebut akans angat bermanfaat
untuk pengendalian kerusakan tanah, lahan, dan hidrologi, selain itu
untuk penataan lahan kembali.
3.3.10. Sosio agro
ekonomi
Survei data primer
maupun sekunder sosio agro ekonomi dimaksudkan untuk mengetahui potensi dan
keadaan daerah/wilayah survei atas kondisi sosial, budaya, ekonomi suatu lokasi
tersebut. Data yang perlu digali adalah: (i) jenis dan sebaran tata guna lahan
dan vegetasi, (ii) vegetasi dan hasil interpretasi udara, (iii) jenis dan
produksi hasil pertanian dan perkebunan, kalau diperlukan juga tanaman hutan,
(iv) transportasi dan pemasaran hasil-hasil tersebut di atas, (v) status
kepemilikan lahan, (vi) kependudukan, (vii) keadaan perekonomian, (viii)
pelayanan sosial, dsb. Pentingnya data sosio agro ekonomi terutama adalah untuk
menunjang data fisik lingkungan. Hal ini erat hubungannya dengan perencanaan
penggunaan tanah dan lahan suatu wilayah survei.
Literature citted and
followed:
Ademola K. Braimoh,
and Paul L.G. Vlek (Editors). 2008..Land Use and Soil Resources. ©2008
Springer Science+Business Media B.V. ISBN-978-1-4020-6777-8
e-ISBN-978-1-4020-6778-5 Library of Congress Control Number: 2007941782. Cover
Images © 2007 JupiterImages Corporation.
Djaenudin, D.
1998?. Pengenalan dan Konsep Evaluasi Lahan untuk Pengembangan
Pertanian. Materi Pelatihan ALES dan SIG angkatan I dan II, Ciawi Bogor (26
Februari s/d 20 Maret 1998). Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.
1998.
Ilbery, B., Q,
Chiotti, and T. Rickard (Editors). 1997. Agricultural Restructuring and
Sustainabi-lity: A Geographic Perspective. CAB International. Wallingford Oxon,
U.K., and New-York, USA. 348 pp.
IPB. 1982. Bahan
Praktikum Pendidikan dan Latihan Tata Guna Tanah. Badan Pendidikan dan Latihan
Departemen Dalam Negeri dan Institut Pertanian Bogor. IPB, Bogor. 125 hal.
Matondang, S. 1982. Teknik
Survei. Bahan Kuliah dalam Pendidikan dan Latihan Tataguna Tanah. Badan
Pendidikan dan Latihan Departemen Dalam Negeri dan Institut Pertanian Bogor.
1982.
McRae, S.G. and C.P.
Burnham. 1981. Land Evaluation. Clarendon Press. Oxford, Great Brittain.
Informasi penggunaan
kepustakaan Agroklimat/Ilmu Iklim yang menunjang Evaluasi Lahan:
Chambers, R.E.
1978. Klimatologi Pertanian Dasar. Bagian Klimatologi Pertanian.
Departemen Ilmu-ilmu Pengetahuan Alam, Fakultas Pertanian, IPB, Bogor.
Doorenbos, J. and W.O.
Pruitt. 1977 (Reprinted 1984). Guidlines for Predicting Crop Water
Requirements. FAO, Rome. 184 pp.
Koesmaryono, Y.,
Imron, Y. Sugiarto. 1999. Kapita Selekta Agroklimatologi.
Jurusan Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan IPA, IPB, Bogor.
Oldeman, L.R., and M.
Frere. 1982. A Study of The Agroclimatology of The Humid Tropics (Technical
Report). FAO/UNESCO/WMO Interagency Project on Agroclimatology. FAO, Rome. 229
pp.
Williams, C.N., and
K.T. Joseph. 1974. Climate, Soils and Crop Production in The Tropics (Revised
Edition). Oxford University Press, London. 177 pp.
Wisnubroto, Sukardi.
1999. Meteorologi Pertanian. Mitra Gama Widya, Yogyakarta. 155 hal.
Wisnubroto, Sukardi.
1999. Pengenalan Waktu Tradisional: “Menurut Jabaran Meteorologi Manfaat
dalam Pertanian dan Sosial. Mitra Gama Widya, Yogyakarta. 85 hal.
0 komentar:
Posting Komentar